Minggu, 26 Juni 2011

CINTA LAKI LAKI DAN WANITA

Perempuan diciptakan dari tulang rusuk Laki – laki
Bukan dari kepalanya untuk menjadi peneduhnya
Bukan dari kakinya untuk menjadi tumpuannya
Tapi dari sisinya untuk menjadi sama
Dekat dengan lengannya untuk dilindungi
Dan dekat dengan hatinya untuk dicintai

Dibutuhkan tiga detik untuk mengatakan aku mencintaimu.
Tiga jam untuk menjelaskannya
dan seumur hidup untuk membuktikannya

Saya memiliki sepasang mata, tetapi tidak dapat selalu melihatmu.
Saya memiliki sepasang tangan, tetapi tidak bisa selalu melindungimu
Tapi aku memiliki hati, yang selalu berdoa untuk mu

Apa gunanya sayap jika Anda tidak bisa merasakan angin pada wajah Anda?
dan apa gunanya hidup akan jika Anda tidak dapat memenuhi cinta hidup Anda

Kita datang untuk mengasihi tidak dengan mencari orang yang sempurna,
tetapi dengan belajar untuk melihat orang yang tidak sempurna dengan sempurna

Bertemu dengan mu adalah nasibku,
menjadi temanmu adalah pilihanku
jatuh cinta denganmu adalah di luar kuasaku

Untuk sebuah kenangan Jarak tak pernah memisahkan dua hati yang saling peduli,
Walau terpisah ribuan mil dalam hitungan detik kita akan ada di sana kembali.

Setiap kali kamu tersenyum tanpa alasan dan setiap kali kamu merasakan bahagia yang tak terduga, ketahuilah bahwa itu karena aku sedang memikirkanmu.

Setiap kali aku merindukanmu, bintang jatuh dari langit.
Jadi, jika kamu melihat ke langit dan menemukan langit gelap tanpa bintang, itu semua kesalahan mu.
Kau membuatku rindu padamu terlalu banyak

Jangan berjalan di depanku, aku mungkin tidak mengikuti
Jangan berjalan di belakangku, Aku mungkin tidak memimpin
Berjalanlah disampingku & akan aku kasihi SELAMANYA ..

Bila Anda berada dalam Cinta Anda tidak bisa tertidur karena realitas adalah lebih baik daripada impian Anda

Cinta itu seperti bermain piano. Pertama, Anda harus belajar untuk bermain sesuai aturan, setelah itu anda harus melupakan aturan dan bermain dari hati Anda

Pergi kembali kepadamu adalah hal yang sulit,
tapi menyongsong masa depan tanpa dirimu adalah hal mustahil.
AKU MENCINTAIMU

Bung Karno dan Pan-Asiatisme

Nehru, Hatta, Soekarno
*) Oleh : Kusno

Pada tanggal 25 Mei lalu, rakyat di seluruh Afrika memperingati 53 tahun pembebasan Afrika. Peringatan ini mengacu pada sebuah konferensi di Accra, Ghana, pada tahun 1958, yang diikuti oleh delapan negara Afrika yang baru saja merdeka. Inisiator dari konferensi itu adalah Kmame Nkrumah, bapak pembebasan nasional Ghana dan sekaligus inspirator pembebasan Afrika.

Sekarang ini, sembari terus berjuang melawan penindasan imperialisme dan kolonialisme, bangsa-bangsa Afrika terus berjuang pula menuju pada sebuah integrasi: Pan-Afrika. Setelah kematian Kwame Nkrumah, ide Pan Afrika dilanjutkan oleh pemimpin-pemimpin Afrika selanjutnya, termasuk Kolonel Muammar Khadafi—pemimpin revolusi dari Libya.

Di Amerika Latin, sebuah integrasi regional yang lebih luas, meliputi seluruh Amerika Latin dan Karibia, sedang dipersiapkan. Nama dari aliansi itu adalah CELAC (Komunitas Negara Amerika Latin dan Karibia), yang sedianya akan menggelar pertemuan pada bulan Juli mendatang.

Sementara itu, benua Asia, benua terbesar dan dihuni oleh lebih 4 milyar atau sekitar 60% manusia di bumi, justru terlihat tertidur. Kalaupun ada usaha integrasi yang bersifat kawasan, sebagaimana dalam kasus ASEAN, maka di belakangnya adalah kepentingan negeri-negeri imperialis.

Padahal, jauh sebelum Kmame Nkrumah berbicara mengenai Pan-Afrika pada tahun 1958, Bung Karno, pemimpin pembebasan nasional Indonesia, telah berbicara mengenai Pan-Asiatisme pada tahun 1928. Sedangkan Sun Yat Sen, bapak pembebasan nasional Tiongkok, berbicara Pan-Asiatisme di Kobe, Jepang, pada tahun 1924.

Asal-usul Pan-Asiatisme
Penggunaan istilah “Asia” mulai akrab di Asia Timur, khususnya Jepang dan Tiongkok, pada pertengahan abad-19 ketika negeri-negeri itu mulai terancam oleh kehadiran barat. Di sini, pada masanya, istilah “Asia” saja sudah merupakan sebuah proyek politik anti-kolonialisme eropa.
Ancaman dominasi Eropa semakin kuat di kalangan intelektual dan bangsa-bangsa Asia tatkala Inggris mengalahkan Tiongkok dalam perang candu (1838-1842). Sejumlah intelektual asia, yang merasa sudah dipersatukan sejak sebelum kedatangan eropa, mulai mencari-cari alasan untuk dilahirkannya identitas bersama dan solidaritas di antara bangsa-bangsa Asia.
Dalam upaya mencari akar penyatuan Asia itu, sebagian intelektual mencoba menelusuri akar sejarah dan budaya di kawasan ini dan mengambil persamaan-persamaannya, sedangkan intelektual lainnya mencoba mengambil pelajaran dari perjuangan serupa di Eropa.
Momentum kemenangan Jepang atas sebuah bangsa superpower dari eropa, yaitu Rusia, telah menjadi momen politis kebangkitan kepercayaan diri dan perasaan nasional bangsa-bangsa Asia. Soekarno juga mengakui fakta itu. Bung Karno dalam tulisannya, Indonesianisme dan Pan-Asiatisme, menyatakan bahwa kemenangan Jepang atas musuhnya beruang di kutub utara (maksudnya, Rusia) dirasakan oleh dunia Asia sebagai kemenangan Asia atas Eropa.
Begitu hebatnya pengaruh peristiwa tersebut, sampai-sampai seorang Sun Yat Sen mendengar kabar ini dari seorang nasionalis Arab, ketika dirinya sedang mengunjungi terusen Zues. “Suka-cita bangsa Arab, bagian dari ras asiatik yang besar,” kenang Sun Yat Sen ketika mengenang peristiwa itu.
Segera setelah kemenangan itu, sebagian bangsa atau orang Asia mulai membangun kepercayaan bahwa Jepang-lah yang pantas memimpin Asia dalam perjuangan menumbangkan eropa. Mungkin, dalam beberapa derajat, inilah yang menjadi alasan bagi Jepang untuk melaksanakan proyeks ekspansionismenya dan sekaligus menindas bangsa-bangsa Asia yang lebih kecil, dengan meminjam alasan: Asia Timur Raya.
Usaha membangun Pan-Asia mulai terlembaga dalam berbagai asosiasi-asosiasi Pan-Asia yang berdiri di seluruh Asia, dan juga melalui konferensi-konferensi Pan Asia yang berlangsung di Tiongkok, Jepang, dan Afghanistan pada tahun 1920-1930-an. Fenomena ini juga dibumbuhi dengan lahirnya gerakan-gerakan anti-eropa di berbagai tempat. Pada tahun 1907, kaum sosialis dan revolusioner dari Tiongkok, Jepang, Vietnam, Korea, Philipina, Birman, dan India bergabung dalam pembentukan Asiatic humanitarian brotherhood. Lalu, pada tahun 1909, pan-asianis Jepang dan muslimin membentuk apa yang disebut Ajia Gikai (Asian Congress). Pada tahun 1921, sebuah gerakan massa muncul di Tokyo, Jepang, untuk mendukung perjuangan Turki menyatu dengan Asia Tengah dan keluar dari kekuasaan Rusia.
Dua Macam Pan-Asiatisme
Sebagaimana diceritakan di atas, kemenangan Jepang terhadap Rusia telah mendorong kepercayaan luar biasa bagi Jepang dan bangsa-bangsa Asia lainnya. Pada tahun 1910, atas nama Pan-asiatisme, Jepang telah menjalankan agresi terhadap Korea.
Di kalangan sebagian intelektual Chauvinis Jepang, mereka telah mencari-cari sebuah alasan kultural dan historis, yang diperlukan sebagai legitimasi bahwa Jepang-lah yang pantas memimpin pembebasan bangsa Asia dari Eropa.
Dengan demikian, secara sepihak, fasisme Jepang telah menggunakan Pan-Asiatisme untuk melegitimasi nafsu penaklukan dan penindasan terhadap bangsa-bangsa yang lebih lemah dan lebih kecil.
Pada tahun 1919, untuk menyelamatkan Pan-Asiatisme, Li Dazhao, salah seorang pendiri Partai Komunis Tiongkok, telah menulis sebuah seruan kepada bangsa-bangsa Asia yang lebih lemah untuk membangun “kebesaran Asia yang baru” melawan “kebesaran Asia”-nya Jepang yang fasistik. Sementara itu, Sun Yat Sen, ketika sedang memberi ceramah tentang Pan-Asiatisme di Kobe, Jepang, berusaha membujuk Jepang agar kembali ke jalan persatuan Asia yang sebenarnya.
Di sini, sebagaimana kita lihat di atas, ada dua macam Pan-Asiatisme yang terbangun: pertama, Pan-Asiatisme yang diselewengkan oleh Jepang untuk mencapai tujuan-tujuan fasistiknya. Kedua, Pan-Asiatisme bangsa-bangsa terjajah dan tertindas untuk mengalahkan kolonialisme dan imperialisme.
Pan-Asiatisme yang Anti-Imperialis
Boleh dikatakan bahwa Bung Karno dan Sun Yat Sen adalah dua orang tokoh pergerakan nasionalis di Asia yang konsisten untuk membawa Pan-Asiatisme di jalan pembebasan nasional bangsa-bangsa terjajah.
Menurut Sun Yat Sen, tujuan dari Pan-Asia adalah mengakhiri penderitaan dan ketertindasan bangsa-bangsa Asia dengan melakukan perlawanan terhadap dominasi bangsa Eropa. Ini sama sekali tidaklah berbau rasialisme, sebab saat itu Asia sudah cukup lama ditindas dan dihisap oleh kolonialis dari Eropa.
Kalaupun Asia akan mengembangkan kekuatannya, menurut Sun Yat Sen, itu bukan dimaksudkan untuk menyerang atau memerangi bangsa lain, melainkan untuk mempertahankan diri apabila sewaktu-waktu diserang oleh aggressor dari luar.
Sedangkan menurut Bung karno, hal-hal yang mengikat Pan-Asiatisme adalah kesamaan nasib, yaitu sebagai bangsa terjajah, dan kesamaan tujuan: mencapai kemerdekaan dan kemajuan sebagai sebuah bangsa. “…bahwasanya, bahagia yang melimpahi negeri-negeri Asia yang lain adalah kita rasakan melimpahi diri kita sendiri; malangnya negeri-negeri itu adalah malangnya negeri kita pula…”
Bung Karno berusaha menggunakan Pan-Asia ini sebagai alat untuk menyatukan kekuatan-kekuatan pergerakan nasional di Asia dalam memukul imperialisme. Oleh karena itu, Bung Karno lalu bercerita bagaimana saling-hubungan antara berbagai pergerakan-pergerakan di Asia itu. Ia mengutip pernyataan seorang nasionalis Indonesia lainnya: “letusan meriam di Thusima telah membangunkan penduduk Indonesia, memberi tahukan bahwa matahari telah tinggi, serta memaksa penduduk Indonesia berkejar-kejaran dengan bangsa asing menuju padang kemajuan dan kemerdekaan.”
Soekarno dalam tulisannya di “Suluh Indonesia Muda” tahun 1928 itu juga menggaris bawahi arti penting Pan-Asia sebagai sebuah front anti-imperialis di antara bangsa-bangsa Asia dalam memukul imperialisme. “Kekalahan atau kerugian yang diderita oleh imperialis lain adalah berarti sebuah keuntungan bagi kita, suatu penguatan-pendirian kita di dalam kita punya perjuangan yang sukar ini,” kata Bung Karno.
Pendapat Bung Karno ini mengacu pada sebuah pemahaman yang kuat, bahwa imperialisme bukan hanya relasi antara satu bangsa penindas terhadap satu bangsa tertindas lainnya, melainkan imperialisme sebagai sebuah sistem untuk mengusai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri—suatu sistim untuk merajai atau mengendalikan ekonomi bangsa lain.
Dengan keberhasilan suatu negeri jajahan memukul penindasnya, menurut Bung Karno, akan memberikan keuntungan bagi negara-negara jajahan lain yang sedang menjalankan perjuangan yang sama.
***
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Bung Karno jarang sekali berbicara mengenai Pan-Asia. Saat itu, gerakan Pan-Asia sendiri sudah mulai meredup setelah diselewengkan oleh fasisme Jepang.
Meski begitu, bukan berarti bahwa Bung Karno meninggalkan pentingnya solidaritas bangsa terjajah melawan imperialisme, dan itu dibuktikannya dengan memprakarsai Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955, di Bandung, Jawa Barat.

PERANAN NEKOLIM DALAM TRAGEDI 1965

Nekolim akronim untuk Neokolonialisme-Kolonialisme-Imperialisme. Akronim ini agak umum kita kenal pada masa sebelum terjadi tragedi nasional 1965. Pada tahun 1930 – kita tinjau agak jauh ke belakang - dalam pidato pembelaannya yang termashur ‘Indonesia Menggugat´di depan pengadilan kolonial Hindia Belanda Bung Karno secara ilmiah dan gamblang mengexpos sistem imperialisme dan kolonialisme yang dipraktekkan di jajahan Hindia Belanda. Bung Karno mengung-kapkan bahwa sistem penindasan dan exploatasi atas rakyat dan bangsa Indonesia, tak terelakkan akan membangkitkan perlawanan dan perjuangan untuk Indonesia Merdeka dan cita-cita itu pasti akan terwujud. Pada 17 Agustus yang lalu kita peringati ulangtahun ke-60 proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Proklamasi itu adalah satu puncak dalam perjuangan rakyat dan bangsa Indonesia selama puluhan tahun melawan imperialisme dan kolonialisme, pertama-tama dari Belanda, kemudian Jepang dan selanjutnya berbagai kekuasaan imperialis dunia. Sejak tahun 1930 banyak sekali terjadi perubahan internasional dalam perimbangan kekuatan negara-negara imperialis dan sistem kolonialisme. Sistem kolonial yang lama runtuh, banyak negeri jajahan dan setengah-jajahan mencapai kemerdeka-annya. Namun inti kupasan dan analisis Bung Karno mengenai imperialisme dan kolonialisme masih berlaku sampai sekarang. Dengan proklamasi kemerdekaan R.I. rakyat Indonesia mematahkan belenggu imperialisme Belanda dan fasisme Jepang. Tetapi pada saat itupun imperialisme dan kolonialisme yang tak rela menerima kekalahannya terus merongrong Republik Indonesia yang muda itu.. Pada 1948 komplotan imperialis dengan ‘Red Drive Proposals’ yang bertujuan mencerai-beraikan serta menghancurkan kekuatan revolusioner rakyat Indonesia dilaksanakan dengan pencetusan Peristiwa Madiun. Sekalipun dipaksa menerima kompromi persetujuan Konferensi Meja Bundar rakyat Indonesia meneruskan perjuangan melawan imperialisme demi mewujudkan kemerdekaan yang sungguh-sungguh. Intervensi imperialis, khususnya imperialisme AS, tak berhenti dan semakin nyata. George McKahin, pakar Indonesia dari Univer-sitas Cornell AS, menguraikan dalam bukunya ‘Subversi sebagai politik luarnegeri’, bahwa bagi imperialis AS intervensi dan subversi menjadi bagian dari politik luarnegerinya. Dalam pernyataan ‘Dasa Sila’ yang disepakati oleh Konferensi AA Bandung pada 1955 dengan tegas dinyatakan dan dicanangkan bahwa ‘kolonialisme belum mati’ dan munculnya ‘neokolonialisme’ – jajahan model baru. Tidak mengherankan bahwa Bung Karno yang menyuarakan tekad perjuangan rakyat Indonesia melawan imperialisme dan kolonialisme itu berkali-kali menjadi sasaran percobaan pembunuhan. Berkali-kali itu gagal, tapi sebagaimana kolonel Maulwi Saelan dalam memoarnya menyatakan, akhirnya usaha itu berhasil, yaitu oleh rezim Suharto. Dengan menelusuri jalan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia ini, dapat dilacak tangan nekolim dalam tragedi nasional yang dimulai dengan peristiwa G30S September 1945. Hingga kini masih berlangsung perdebatan dan penelitian mengenai apa sesungguhnya yang terjadi. Namun dengan menjadikan PKI sebagai kambing hitam, kekuatan reaksioner AD dibawah jenderal Suharto segera melak-sanakan pengejaran, penangkapan dan pembunuhan atas semua orang yang dituduh PKI atau menjadi pendukungnya. Pada saat kita memperingati 40 tahun tragedi nasional 1965, patut kita kenang kembali bagaimana sikap Bung Karno mengenai peristiwa itu. Sikapnya konsekuen mendasarkan diri pada pengenalan mendalam atas siasat imperialisme, kolonialis-me, neokolonialisme. Dalam pidato NAWAKSARA, pidato pertanggung-jawaban sikapnya kepada MPRS pada 10 Januari 1967, Bung Karno menegaskan bahwa atas dasar penyelidikannya yang seksama peristiwa G30S “ditimbulkan oleh ‘pertemuannya’ tiga sebab, yaitu: a) keblingeran pimpinan PKI, b) kelihaian subversi nekolim, c) memang adanya oknum-oknum yang ‘tidak benar’”. MPRS yang sudah dicopoti semua elemen yang mendukung Bung Karno dan yang kritis terhadap AD menolak pidato Bung Karno. Bung Karno lewat penyalahgunaan ‘supersemar’ diturunkan dan sampai meninggal berstatus ‘tahanan rumah’. Mengapa pernyataan NAWAKSARA Bung Karno samasekali diabaikan? Mengapa sasaran hanya dibidikkan pada PKI dengan meninggalkan segala prosedur hukum? Mengapa tokoh-tokoh pimpinan PKI yang sudah di tangan AD tidak dibawa ke pengadilan tapi dibunuh secara gelap? Mengapa sebab b) kelihaian subversi nekolim dan c)memang adanya oknum-oknum yang ‘tidak benar’ samasekali tak jadi perhatian? Meneliti pidato NAWAKSARA memberi petujuk kepada kita mengenai sebab-sebabnya. Dalam NAWAKSARA Bung Karno menekankan keharusan ‘kewaspadaan istimewa terhadap bahaya kekuatan kontrarevolusi di dalam negeri dan bahaya kekuatan subversif kontrarevolusioner dari luar negeri. Kejadian-kejadian yang kita saksikan membuktikan bahwa kekuatan kontrarevolusi di dalam negeri (yaitu oknum-oknum yang ‘tidak benar’) sudah bersatu padu dengan kekuatan subversif kontra-revolusio-ner dari luar negeri (kelihaian subversi nekolim). Pada hakekatnya kup kontra-revolusioner yang didalangi oleh jenderal Suharto sudah berjalan. Bahan-bahan dan publikasi yang selama ini diterbitkan, khususnya di luarnegeri, semakin jelas menyingkap ‘kelihaian subversif nekolim’ dalam Tragedi Nasional 1965. Satu bahan penting yalah DOKUMEN CIA – Melacak Penggulingan Sukarno dan Konspirasi G30S 1965 yang diterbitkan oleh Hasta Mitra. Bahan ini merupakan kumpulan data intelijen otentik yang dibuka oleh State Department AS tapi kemudian ditarik kembali oleh CIA. Dari bahan-bahan ini para sejarawan a.l. menyimpulkan bahwa Amerika memberikan nama-nama orang komunis kepada Angkatan DaratIndonesia, yang membunuh paling tidak 105.000 orang komunis pada 1965-1966. CIA tidak bisa lagi menutup peranannya. Buku yang sangat penting untuk memahami peranan imperialis AS (Pentagon dan CIA) dalam usaha mendominasi dunia yalah karya Noam Chomsky dan Edward S. Herman yang berjudul: ‘The Washington Connection and Third World Fascism’ (Keterkaitan Washington dengan Fasisme Di Dunia Ketiga), 1979. Dalam Bab 1, Introduksi, a.l. disimpulkan ‘Dunia kolonial yang lama dihancurkan selama Perang Dunia II, menghasilkan kebangkitan nasionalis-radikal yang mengancam hegemoni tradisional Barat dan kepentingan-kepentingan ekonomi bisnis Barat. Untuk membendung ancaman ini Amerika Serikat menggabungkan diri dengan elemen-elemen elite dan militer di Dunia Ketiga yang fungsinya membendung pasang-surut perubahan.´ Inilah yang dilakukan oleh rezim-rezim diktatorial seperti di Vietnam Selatan untuk menahan perjuangan pembebasan rakyat Vietnam, kemudian juga oleh Mobutu di Zaire, Pinochet di Chili dan Suharto di Indonesia. Dalam bab-bab berikutnya Noam Chomsky mengupas keterkaitan neokolonialisme dengan Washington dan bebagai jenis teror yang diterapkan di berbagai negeri dunia ketiga. Bab 4 berjudul ‘Teror Konstruktif’. Mengapa ‘konstruktif’? Karena pembantaian berdarah dan teror yang secara substansial menciptakan iklim investasi yang menguntungkan. Inilah yang dimaksud ‘konstruktif’, sebab mencapai tujuan yang jadi prioritas paling tinggi bagi pemimpin-pemimpin ‘Dunia Bebas’.  Adapun masalah hak-hak asasi manusia dapat dikesampingkan. Selanjutnya dengan subjudul: Indonesia: pembasmian massal, sorga kaum investor, diuraikan makna kejadian-kejadian di Indonesia ‘Massaker-massaker besar di Indonesia pada tahun 1965-1966 punya artipenting bersegi tiga. Pertama, kejadian-kejadian itu merupakan suatu tahap baru dalam kekerasan kontrarevolusioner ditandai oleh “pembasmian massal guna mengkonsolidir kekuasaan otoriter”. Kedua, kejadian-kejadian itu mempertunjukkan seterang-terangnya respon pemerintahan AS atas pertumpahan darah di mana hasil-hasil politik dari pembantaian itu dipandang sebagai “positif”. Ketiga, karena reaksi para jurnalis yang bertanggungjawab dan para pemimpin politik antusias, dan protes dunia terhadap pembunuhan massal itu minimal, maka pertumpahan darah di Indonesia mempersiapkan jalan untuk jadi model yang dapat berwujud untuk pogrom-progrom lain yang biarpun lebih kecil tetap berskala besar seperti pada tahun-tahun kemudian di Chili.’ Analisis Chomsky sepenuhnya dibuktikan kebenarannya pada Tragedi Nasional 1965 di Indonesia. Di bidang ekonomi rezim Orba membuka pintu selebar-lebarnya untuk investasi modal asing, meninggalkan prinsip berdikari Bung Karno. Indonesia betul-betul menjadi sorga bagi kaum investor. Ini hasil atas dasar pembantaian massal luarbiasa atas jutaan rakyat tak berdosa, sedangkan dunia barat yang mendominir media massa yang biasanya suka berteriak mengenai pelanggaran hak-hak asasi kemanusiaan, betul-betul bisu dalam seribu bahasa. Sebagaimana dicatat Chomsky “protes dunia itu ....minimal”. Begitu luas dan besar pembunuhan terjadi di Indonesia, sehingga Chomsky menamakannya ‘holocaust terbesar yang kedua dalam abat keduapuluh.’ Melalui analisis dan bukti-bukti nyata Chomsky menyingkap keterlibatan nekolim, khususnya AS, dalam Tragedi Nasional 1965. Dengan segala cara yang licik parapemihak imperialis ketika itu berusaha mencegah penerbitan edisi pertama buku ini, tapi usaha ini akhirnya sia-sia. Peranan nekolim ini dengan jelas dibahas juga dalam artikel David Easter yang dimuat di Journal of Cold War History, Vol. 5, No. 1, 2005. Judulnya ‘Keep the Indonesian Pot Boiling’; Western Covert Intervention in Indonesia, Oktober 1965-March 1966. (Biarkan kerusuhan di Indonesia terus berjalan, Intervensi Terselubung Barat di Indonesia, Oktober 1965-Maret 1966). Pembahasan itu lebih jauh menambah persepsi kita. Dalam studi ini David Easter menguraikan persekongkolan antara negara-negara AS, Inggris, Australia dan Malaysia untuk menyebarluaskan propaganda yang menghasut permusuhan terhadap PKI. Dampaknya yalah memberi hati kepada pembunuhan massal terhadap kaum komunis.Terjadilah kerjasama antara negara-negara Barat ini dengan kekuatan AD yang tak setuju dengan politik konfrontasi Sukarno terhadap Malaysia, sehingga mensabot politik itu. Tulis Davis Easter “...Kolonel Willis Ethel, atase militer AS di Jakarta, secara reguler bertemu dengan asisten Nasution”. “Ethel juga memberi jaminan agak luas, bahwa Inggris tidak akan mengeskalir Konfrontasi selama tentara Indonesia sibuk membereskan kaum komunis.” “Tentara Indonesia bisa menindas kaum komunis dengan tidak usah kuatir mengenai operasi-operasi Inggris dan Australia dalam Konfrontasi. Selain itu , Amerika secara rahasia memberi bantuan material kepada tentara.” David Easter mengakui bahwa propaganda Barat membantu menggambarkan kaum komunis sebagai pembunuh-pembunuh haus darah yang selayaknya harus dibasmi. Dampak kampanye itu adalah untuk ‘dehumanize’ (‘membukan-manusiakan’) kaum komunis supaya lebih mudah membunuhnya. Kita sama-sama tahu ‘keberhasilan’ nekolim dan rezim Orba dalam usaha ini sehingga sampai sekarangpun sangat berat untuk mencabut stigma ‘komunis sebagai penjahat dan pembunuh’ dan melenyap-kan diskriminasi pada korban 1965. Publikasi penting yang juga perlu disebut yalah karya Roland Challis, ‘Shadow of a Revolution - Indonesia and the Generals’, 2001. Roland Challis yang jadi korespon-den BBC untuk Asia Tenggara dari tahun 1964-1969, meliput semua kejadian sejak peristiwa 30 September 1965, pengejaran dan pembantaian kaum komunis atau yang disangka komunis, sampai berdirinya rezim orba di bawah Suharto. Kesaksian atas berlangsungnya Tragedi Nasional itu begitu menyentuhnya sehingga ia mempersembahkan bukunya kepada jutaan orang Indonesia yang jadi korban. Teks yang dicantumkan pada halaman depan bukunya berbunyi: “Dedicated with respect to the memory of more than one million Indonesians who died and are still dying because of the greed, brutality dan ruthless indifference of the military, politicians, global corporations and ‘statesmen’of all nations.” (Dipersembahkan dengan rasa hormat demi mengenangkan lebih dari satu juta orang Indonesia yang telah mati dan masih akan mati disebabkan kerakusan, kebengisan dan ketak-acuhan kejam para militer, politisi, korporasi-korporasi global dan para ‘negarawan’dari semua bangsa.) Hak-hak asasi manusia merupakan hak-hak yang harus dinikmati oleh semua manusia. Tapi di Indonesia selama puluhan tahun, khususnya sejak berdirinya rezim Orba, hak-hak itu telah dilanggar dan diinjak-injak. Nekolim lewat negara-negara Barat merestui pelanggaran-pelanggaran itu. Peranan nekolim ini tidak hanya ter-batas pada Indonesia, tapi di kebanyakan negeri dunia ketiga, seperti kesewenang-wenangan yang terjadi di negeri-negeri Amerika Latin, Afrika dan Asia, Irak, dan bahkan di beberapa negeri Eropa. Dalam pidatonya pada tanggal 9 September yang lalu dalam Konferensi Hak-hak Asasi Manusia Suhakam, Malaysia, mantan perdana menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, dengan tajam mengecam kemunafikan negara-negara Barat dalam hal ini Mereka mengangkat diri sebagai yang berhak meletakkan dasar hak-hak manusia dan menjadi pengawas atas pelaksanaannya di dunia. Globalisasi mereka bukanlah untuk kepentingan rakyat, tapi untuk kepen-tingan kapital. Pada saat kita memperingati 40 tahun Tragedi Nasional 1965 harus kita camkan peranan jahat nekolim, yang sampai sekarang masih berlangsung. Imperialis AS kini satu-satunya negara adikuasa.. Ambisinya dewasa ini dengan seksama diuraikan dalam karya Chomsky yang terbit 2003 berjudul: HEGEMONY OR SURVIVAL – America’s quest for global dominance (HEGEMONI ATAU BERTAHAN-HIDUP – pelacakan Amerika untuk mencapai dominasi global). Rakyat dan bangsa kita masih menghadapi perjuangan jangka panjang agar hak-hak asasi manusia dapat ditegakkan dan dinikmati setiap orang. Usaha ini memerlukan persatuan semua kekuatan rakyat dan bangsa Indonesia. Nekolim adalah musuh internasional, maka perlu pula menggalang kerjasama dan solidaritas dengan rakyat berbagai negeri untuk mewujudkan bersama dunia adil dan demokratik. Sumber : AS MunandarRakyat Merdeka, Minggu, 13 Nopember 2005

AKTUALISASI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT

PENDAHULUAN

Di setiap bangsa seluruh dunia pasti memiliki satu ideologi sebagai dasar Negara .begitu juga Indonesia  sebagai bangsa yang beradab juga memiliki satu ideologi sebagai dasar negara yaitu, pancasila. penetapan pancasila sebagai dasar Negara bukan berasal dari pemikiran seseorang seperti halnya ideologi-ideologi di negara lain seperti sosialis dan liberalisme. pembentukan dan penetapan pancasila sebagai ideologi bangsa indonesia sebenarnya adalah suatu proses panjang sejarah bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung di dalam pancasila merupakan nilai-nilai yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia sendiri yang berasal dari adat istiadat , kebudayaan dan nilai religius bangsa indonesia.
Inti dari kedudukan dan fungsi pancasila adalah pancasila sebagai dasar Negara republik Indonesia. Tetapi perlu diketahui bahwa asal muasal pancasila berasal dari unsur-unsur yang berasal dari bangsa Indonesia sendiri, sehingga kedudukan pancasila dapat dikembangkan menjadi dasar pandangan hidup.oleh karena iti setiap warga Negara wajib menghayati serta mengamalkan nilai-nilai atau esensi-esensi yang terkandung dalam pancasila tersebut.

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pancasila
Mengetahui asal usul sesuatu didalam praktik kehidupan adalah sangat penting, karena dengan mengetahui asal mula sesuatu hal atau peristiwa dapat mengetahui pengertian yang lebih mendalam dari hal atu peristiwa tersebut. begitu juga dalam hal pancasila, untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan denganya secara mendalam, maka kita harus mengetauhi asal mulanya
1.Secara Etimologi
Pancasila berasal dari bahasa India yaitu bahasa sansekerta. panca berarti "lima" syila (dengan huruf i pendek) berarti "batu sendi", "alas" atau "dasar". syiila (dengan huruf i panjang ) berarti "peraturan","tingkah laku yang baik atau penting".syiila itu sendiri dalam bahasa Indonesia menjadi susila artinya tingkah laku yang baik.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pancasyila berarti lima dasar sedangkan pancasyiila berarti lima aturan tingkah laku yang penting.
2.Secara histories
Istilah pancasila pertama kali digunakan oleh masyarakat India yang beragama budha, dan pancasila itu sendiri berarti lima aturan atu five moral principles.
Istilah pancasila juga terdapat dalam kitab sutasoma karangan empu tantular didalam kitab ini pancasila berarti berbatu sendi yang lima selain itu juga mempunyai arti pelaksanaan kesusilaan yang lima yaitu
a.tidak boleh melakukan kekerasan
b.tidak boleh mencuri
c.tidak boleh berjiwa dengki
d.tidak boleh berbohong
e.tidak boleh mabuk minuman keras
Dalam istilah jawa pancasila disebut dengan istilah molimo yang terdiri dari lima golongan yaitu mateni (membunuh), maling (mencuri), madhon (berzina), madat (menghisap candu), main (berjudi). .dari keima larangan tersebut masih menjadi pegangan moral orang-orang jawa sampai sekarang.
3.Secara terminologis
Dimulai sejak sidang BPUPKI tanggal 1 juni 1945, istilah pancasila digunakan oleh Bung karno untuk memeberi nama pada lima dasar atau lima prinsip Negara Indonesia merdeka.menurut beliau sendiri pancasila diperolehnya dari temanya yang seorang ahli bahasa.
Selain hal itu sebagian pakar seperti moh yamin notonogoro, driyakarya, berpendapat pancasila adalah filsafat oleh karena itu pancasila sebagai ratio dari pada kehidupan Negara dan bangsa itu yang sesuai dengan akal yang merupakan sumber kekuasaan jiwa bagi peningkatan martabat kehidupan manusia yang tidak ada taranya serta pandangan hidup dalam bernegara dan ideology Negara dalam arti cita-cita Negara yana menjadi basis bagi system kenegaraan.
B.Pengaktualisasian Pancasila Yang Terkandung Dalam Esensi Ke Lima Sila
Sila –sila pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat, maka esensi seluruh sila-silanya merupakan kesatuan. Pancasila adalah kepribadian bangsa indonesia bukan dari luar. Adapun yang menjadi unsur-unsur pancasila telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak dahulu. Adanya pancasila terdapat di dalam dirinya sendiri, sebab itu pancasila adalah suatu subtansi yang mengandung esensi. oleh karena itu akan kami jelaskan esensi-esensi kelima sila tersebut beserta pengamalanya didalam kehidupan masyarakat.
1.Ketuhanan Adalah Kesesuaian Dengan Hakikat Dan Sifat-Sifat Tuhan
Hakikat tuhan itu sendiri sebenarnya sangat sulit untuk diketahui,akan tetapi kita bisa melihat contoh yang dikemukaan aristoteles tentang adanya causa prima atau sebab pertama yang tidak disebabkan. berbeda dengan hakikat yaitu sifat-sifat tuhan yang lebih mudah kita pikirkan karena tuhan mempunyai sifat yang tidak terbatas,misalnya tuhan maha pengasih, penyayang, adil, sabar dan sebagainya.
Oleh karena itu kita sebagai manusia ciptaanya dan menjadi masyrakat Indonesia khususnya wajib bertaqwa kepada tuhan YME serta menjalankan segala perintahnya,selain itu kta sebagai makhluk tuhan harus bisa meniru sifat sifat yang ada pada diri tuhan meskipun dengan frekuensi yang jauh lebih rendah dibandingkan tuhan yaitu kita harus kasih saying sesama, adil, saling menghoramati dan lain sebagainya.
2.Kemanusiaan Adalah Kesesuaian Dengan Hakikat Manusia
Kita tahu bahwa susunan kodrat manusia itu terdiri dari jiwa dan raga.jiwa terdiri atas akal, rasa, karsa.dan tubuh terdiri atas unsur-unsur benda mati tunbuh-tumbuhan dan binatang. Sedangkan menurut sifat kodratnya, manusia merupakan kesatuan individu dan makhlik sosial atau disebut dengan monodualis social, ekonomi, politik. Menurut kedudukan kodratnya, manusia merupakan kesatuan individu yang berdiri sendiri dan sebagai makhluk tuhan atau disebut dengan monodualis religion.
Oleh karena iu sebagai manusia yang mempunyai susunan, sifat, kedudukan kodrat yang sama kita harus dapat mencintai sesama, mengembangkan sikap tenggang rasa, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
3.Persatuan Adalah Kesesuaian Dengan Hakikat Satu
Kata satu merupakan sesuatu yang bulat, tidak dapat dipecah-pecah. persatuan Indonesia pada hakikatnya bahwa bangsa Indonesia yang berjumlah jutaan jiwa dan mempunyai adat istiadat, agama, kepercayaan, kebudayaan yang berbeda-beda itu merupakan satu kesatuan.
Oleh karena itu didalam pergaulan satu sama lain kita harus dapat menunjukan rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang berbhineka tunggal ika, meskipun berbeda-beda kita harus saling menghormati, menjaga karena satu jua.selain itu kita harus menyadari bahwa kita bertanah air satu yaitu tana air Indonesia, sehingga harus cinta tanah air dan bangsa.
4.Kerakyatan Adalah Kesesuaian Dengan Hakikat Rakyat
Rakyat adalah manusia-manusia yang bertempat tinggal disuatu Negara. istilah hakikat rakyat menunjukan keseluruhan, jadi bukan bagian-bagian, meskipun keseluruhan itu terdiri dari bagian-bagian.maka antara keseluruhan dan bagian ada hubungan yang erat.oleh karena itu kita harus saling bekerja sama, bergotong royong untuk mewujudkan cita-cita kita dan bangsa. Dan kita harus menjawab tantangan bersama, memecahkan persoalan secara bersama.dan musyawarah bersama hal ini semua harus dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan sehingga tercapai sifat kekeluargaan.
5.Keadilan Adalah Kesesuaian Dengan Hakikat Adil
Adil disini dapat diartikan menempatkan sesuatu atau hak dan kewajiban pada tempatnya. berbuat adil kepada diri sendiri berarti berbuat yang serasi antara hak dan kewajiban, berbuat adil kepada masyarakat berarti berlaku adil sesama warganya.berbuat adil terhadap alam berarti kita tidak boleh berbuat semena-mena dan merusak lingkungan hidup.berbuat adil kepada tuhan berarti melaksanakan kewajiban terhadap tuhanya.oleh karena itu kita harus bersifat adil terhadap diri kita, orang lain, alam Negara dan tuhanya.jangan sampai melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum dan berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan social.


C.Penghayatan Pancasila
Untuk menuju pada pengertian penghayatan, maka perlu kiranya diketauhi pengertian menghayati dahulu. Pengertian menghayati merupakan satu (suatu) pengertian yang didalamnya terkandung unsur-unsur pengetahuan, kesadaran, ketaatan, kemampuan, serta pengamalan. penghayatan adalah keadaan kemasakan jiwa (kejiwaan), jadi bukan soal akali saja. Adapun menghayati pancasila berarti kita telah memiliki pengetahuan tentang pancasila dengan sebaik baiknya termasuk pembukaan undang-undang dasar 1945, juga tentang undang-undang dasar 1945.
Mengenai pengetahuan itu seharusnya berupa pengertian yang jalas tentang kebenaranya, yang selanjutnya harus dapat diresapkan dalam pikiran, sehingga tumbuh rasa kesadaran kita untuk menerimanya dan selalu ingat setia kepada pancasila, termasuk pembukaan dan undang-undang dasar 1945.
Dengan didorong oleh rasa kesadaran inilah yang didasari oleh pengetahuan atau pengertian yang sebaik-baiknya serta jelas tentang kebenaran tadi, mampulah kita untuk mengembangkan serta mengamalkan pancasila dengan sebaik-baiknya. Bilamana penghayatan pancasila ini dapat dikembangkan secara terus menerus, akan lahirlah mentalitas pancasila, sehingga dapat mewujudkan kesatuan cipta, rasa, karsa dan karya dalam mengemban hak dan kewajiban atas dasar nilai-nilai pancasila dalam kehidupan bermasyrakat. Hasilnya akan dapat mewujudkan manusia pancasila, bangsa pancasila, Negara pancasila, masyarakat pancasila, sejahtera, bahagia jasmaniah rokhaniah, sesuai dengan kepribadian manusia dan bangsa Indonesia.
Dengan demikian jelaslah bahwa apa yang menjadi titik tolak penghayatan pancasila adalah kemauan serta kemampuan manusia Indonesia itu di dalam mengendalikan dirinya serta kepentinganya agar dapat memenuhi kewajiban menjadi warga Negara yang baik.

DINAMIKA AKTUALISASI NILAI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

Alfred North Whitehead (1864 – 1947), tokoh utama filsafat proses, berpandangan bahwa  semua realitas dalam alam mengalami proses atau perubahan, yaitu kemajuan, kreatif dan baru. Realitas itu dinamik dan suatu proses yang terus menerus “menjadi”, walaupun unsurpermanensi realitas dan identitas diri dalam perubahan tidak boleh diabaikan. Sifat alamiah itu dapat pula dikenakan pada ideologi Pancasila sebagai suatu realitas (pengada). Masalahnya, bagaimanakah nilai-nilai Pancasila itu diaktualisasikan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara ? dan, unsur nilai Pancasila manakah yang mesti harus kita pertahankan tanpa mengenal perubahan ?
Moerdiono (1995/1996) menunjukkan adanya 3 tataran nilai dalam ideologi Pancasila. Tiga tataran nilai itu adalah: Pertama, nilai dasar, yaitu suatu nilai yang bersifat amat abstrak dan tetap, yang terlepas dari pengaruh perubahan waktu.Nilai dasar merupakan prinsip, yang bersifat amat abstrak, bersifat amat umum, tidak terikat oleh waktu dan tempat, dengan kandungan kebenaran yang bagaikan aksioma.Dari segi kandungan nilainya, maka nilai dasar berkenaan dengan eksistensi sesuatu, yang mencakup cita-cita, tujuan, tatanan dasar dan ciri khasnya. Nilai dasar Pancasila ditetapkan oleh para pendiri negara.Nilai dasar Pancasila tumbuh baik dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yang telah menyengsarakan rakyat, maupun dari cita-cita yang ditanamkan dalam agama dan tradisi tentang suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan kebersamaan, persatuan dan kesatuan seluruh warga masyarakat. Kedua, nilai instrumental, yaitu suatu nilai yang bersifat kontekstual. Nilai instrumental merupakan penjabaran dari nilai dasar tersebut, yang merupakan arahan kinerjanya untuk kurun waktu tertentu dan untuk kondisi tertentu. Nilai instrumental ini dapat dan bahkan harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Namun nilai instrumental haruslah mengacu pada nilai dasar yang dijabarkannya. Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif dan dinamik dalam bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama, dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh nilai dasar itu.Dari kandungan nilainya, maka nilai instrumental merupakan kebijaksanaan, strategi, organisasi, sistem, rencana, program, bahkan juga proyek-proyek yang menindaklanjuti nilai dasar tersebut. Lembaga negara yang berwenang menyusun nilai instrumental ini adalah MPR, Presiden, dan DPR. Ketiga, nilai praksis, yaitu nilai yang terkandung dalam kenyataan sehari-hari, berupa cara bagaimana rakyat melaksanakan (mengaktualisasikan) nilai Pancasila. Nilai praksis terdapat pada demikian banyak wujud penerapan nilai-nilai Pancasila, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, baik oleh cabang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, oleh organisasi kekuatan sosial politik, oleh organisasi kemasyarakatan, oleh badan-badan ekonomi, oleh pimpinan kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara secara perseorangan. Dari segi kandungan nilainya, nilai praksis merupakan gelanggang pertarungan antara idealisme dan realitas. Jika ditinjau dari segi pelaksanaan nilai yang dianut, maka sesungguhnya pada nilai praksislah ditentukan tegak atau tidaknya nilai dasar dan nilai instrumental itu. Ringkasnya bukan pada rumusan abstrak, dan bukan juga pada kebijaksanaan, strategi, rencana, program atau proyek itu sendiri terletak batu ujian terakhir dari nilai yang dianut, tetapi pada kualitas
pelaksanaannya di lapangan. Bagi suatu ideologi, yang paling penting adalah bukti pengamalannya atau aktualisasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Suatu ideologi dapat mempunyai rumusan yang amat ideal dengan ulasan yang amat logis serta konsisten pada tahap nilai dasar dan nilai instrumentalnya. Akan tetapi, jika pada nilai praksisnya rumusan tersebut tidak dapat diaktualisasikan, maka ideologi tersebut akan kehilangan kredibilitasnya.Bahkan Moerdiono (1995/1996: 15) menegaskan, bahwa bahwa tantangan terbesar bagi suatu ideologi adalah menjaga konsistensi antara nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksisnya. Sudah barang tentu jika konsistensi ketiga nilai itu dapat ditegakkan, maka terhadap ideologi itu tidak akan ada masalah. Masalah baru timbul jika terdapat inkonsisitensi dalam tiga tataran nilai tersebut. 

Untuk menjaga konsistensi dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila ke dalam praktik hidup berbangsa dan bernegara, maka perlu Pancasila formal yang abstrak-umum-universal itu ditransformasikan menjadi rumusan Pancasila yang umum kolektif, dan bahkan menjadi Pancasila yang khusus individual (Suwarno, 1993: 108). Artinya, Pancasila menjadi sifat-sifat dari subjek kelompok dan individual, sehingga menjiwai semua tingkah laku dalam lingkungan praksisnya dalam bidang kenegaraan, politik, dan pribadi. Driyarkara menjelaskan proses pelaksanaan ideologi Pancasila, dengan gambaran gerak transformasi Pancasila formal sebagai kategori tematis (berupa konsep, teori) menjadi kategori imperatif (berupa norma-norma) dan kategori operatif (berupa praktik hidup). Proses tranformasi berjalan tanpa masalah apabila tidak terjadi deviasi atau penyimpangan, yang berupa pengurangan, penambahan,dan penggantian (dalam Suwarno, 1993: 110- 111).
Operasionalisasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara haruslah diupayakan secara kreatif dan dinamik, sebab Pancasilasebagai ideologi bersifat futuralistik. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai-nilai yang dicita-citakan dan ingin diwujudkan. Masalah aktualisasi nilai-nilai dasar ideologi Pancasila ke dalam kehidupan praksis kemasyarakatan dan kenegaraan bukanlah masalah yang sederhana. Soedjati Djiwandono (1995: 2-3) mensinyalir, bahwa masih terdapat beberapa kekeliruan yang mendasar dalam cara orang memahami dan menghayati Negara Pancasila dalam berbagai seginya. Kiranya tidak tepat membuat “sakral” dan taboo berbagai konsep dan pengertian, seakan-akan sudah jelas betul dan pasti benar, tuntas dan sempurna, sehingga tidak boleh dipersoalkan lagi. Sikap seperti itu membuat berbagai konsep dan pengertian menjadi statik, kaku dan tidak berkembang, dan mengandung resiko ketinggalan zaman, meskipun mungkin benar bahwa beberapa prinsip dasar memang mempunyai nilai yang tetap dan abadi. Belum teraktualisasinya nilai dasar Pancasila secara konsisten dalam tataran praksis perlu terus menerus diadakan perubahan, baik dalam arti konseptual maupun operasional. Banyak hal harus ditinjau kembali dan dikaji ulang. Beberapa mungkin perlu dirubah, beberapa lagi mungkin perlu dikembangkan lebih lanjut dan dijelaskan atau diperjelas, dan beberapa lagi mungkin perlu ditinggalkan. Aktualisasi nilai Pancasila dituntut selalu mengalami pembaharuan. Hakikat pembaharuan adalah perbaikan dari dalam dan melalui sistem yang ada. Atau dengan kata lain, pembaharuan mengandaikan adanya dinamika internal dalam diri Pancasila. Mengunakan pendekatan teori Aristoteles, bahwa di dalam diri Pancasila sebagai pengada (realitas) mengandung potensi, yaitu dasar kemungkinan (dynamik). Potensi dalam pengertian ini adalah kemampuan real subjek (dalam hal ini Pancasila) untuk dapat berubah. Subjek sendiri yang berubah dari dalam. Mirip dengan teori A.N.Whitehead, setiap satuan aktual (sebagai aktus, termasuk Pancasila) terkandung daya kemungkinan untuk berubah. Bukan kemungkinan murni logis atau kemungkinan objektif, seperti batu yang dapat dipindahkan atau pohon yang dapat dipotong. Bagi Whitehead, setiap satuan aktual sebagai realitas merupakan sumber daya untuk proses kemenjadi- an yang selanjutnya. Jika dikaitkan dengan aktualisasi nilai Pancasila, maka pada dasarnya setiap ketentuan hukum dan perundang-undangan pada segala tingkatan, sebagai aktualisasi nilai Pancasila (transformasi kategori tematis menjadi kategori imperatif), harus terbuka terhadap peninjauan dan penilaian atau pengkajian tentang keterkaitan dengan nilai dasar Pancasila.

Untuk melihat transformasi Pancasila menjadi norma hidup sehari-hari dalam bernegara orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-4 yang berkaitan dengan negara, yang meliputi; wilayah, warganegara, dan pemerintahan yang berdaulat. Selanjutnya, untuk memahami transformasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa, orang harus menganalisis pasalpasal penuangan sila ke-3 yang berkaitan dengan bangsa Indonesia, yang meliputi; faktor-faktor integratif dan upaya untuk menciptakan persatuan Indonesia. Sedangkan untuk memahami transformasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-1, ke-2, dan ke-5 yang berkaitan dengan hidup keagamaan, kemanusiaan dan sosial ekonomis (Suwarno, 1993: 126).