Minggu, 26 Juni 2011

Bung Karno dan Pan-Asiatisme

Nehru, Hatta, Soekarno
*) Oleh : Kusno

Pada tanggal 25 Mei lalu, rakyat di seluruh Afrika memperingati 53 tahun pembebasan Afrika. Peringatan ini mengacu pada sebuah konferensi di Accra, Ghana, pada tahun 1958, yang diikuti oleh delapan negara Afrika yang baru saja merdeka. Inisiator dari konferensi itu adalah Kmame Nkrumah, bapak pembebasan nasional Ghana dan sekaligus inspirator pembebasan Afrika.

Sekarang ini, sembari terus berjuang melawan penindasan imperialisme dan kolonialisme, bangsa-bangsa Afrika terus berjuang pula menuju pada sebuah integrasi: Pan-Afrika. Setelah kematian Kwame Nkrumah, ide Pan Afrika dilanjutkan oleh pemimpin-pemimpin Afrika selanjutnya, termasuk Kolonel Muammar Khadafi—pemimpin revolusi dari Libya.

Di Amerika Latin, sebuah integrasi regional yang lebih luas, meliputi seluruh Amerika Latin dan Karibia, sedang dipersiapkan. Nama dari aliansi itu adalah CELAC (Komunitas Negara Amerika Latin dan Karibia), yang sedianya akan menggelar pertemuan pada bulan Juli mendatang.

Sementara itu, benua Asia, benua terbesar dan dihuni oleh lebih 4 milyar atau sekitar 60% manusia di bumi, justru terlihat tertidur. Kalaupun ada usaha integrasi yang bersifat kawasan, sebagaimana dalam kasus ASEAN, maka di belakangnya adalah kepentingan negeri-negeri imperialis.

Padahal, jauh sebelum Kmame Nkrumah berbicara mengenai Pan-Afrika pada tahun 1958, Bung Karno, pemimpin pembebasan nasional Indonesia, telah berbicara mengenai Pan-Asiatisme pada tahun 1928. Sedangkan Sun Yat Sen, bapak pembebasan nasional Tiongkok, berbicara Pan-Asiatisme di Kobe, Jepang, pada tahun 1924.

Asal-usul Pan-Asiatisme
Penggunaan istilah “Asia” mulai akrab di Asia Timur, khususnya Jepang dan Tiongkok, pada pertengahan abad-19 ketika negeri-negeri itu mulai terancam oleh kehadiran barat. Di sini, pada masanya, istilah “Asia” saja sudah merupakan sebuah proyek politik anti-kolonialisme eropa.
Ancaman dominasi Eropa semakin kuat di kalangan intelektual dan bangsa-bangsa Asia tatkala Inggris mengalahkan Tiongkok dalam perang candu (1838-1842). Sejumlah intelektual asia, yang merasa sudah dipersatukan sejak sebelum kedatangan eropa, mulai mencari-cari alasan untuk dilahirkannya identitas bersama dan solidaritas di antara bangsa-bangsa Asia.
Dalam upaya mencari akar penyatuan Asia itu, sebagian intelektual mencoba menelusuri akar sejarah dan budaya di kawasan ini dan mengambil persamaan-persamaannya, sedangkan intelektual lainnya mencoba mengambil pelajaran dari perjuangan serupa di Eropa.
Momentum kemenangan Jepang atas sebuah bangsa superpower dari eropa, yaitu Rusia, telah menjadi momen politis kebangkitan kepercayaan diri dan perasaan nasional bangsa-bangsa Asia. Soekarno juga mengakui fakta itu. Bung Karno dalam tulisannya, Indonesianisme dan Pan-Asiatisme, menyatakan bahwa kemenangan Jepang atas musuhnya beruang di kutub utara (maksudnya, Rusia) dirasakan oleh dunia Asia sebagai kemenangan Asia atas Eropa.
Begitu hebatnya pengaruh peristiwa tersebut, sampai-sampai seorang Sun Yat Sen mendengar kabar ini dari seorang nasionalis Arab, ketika dirinya sedang mengunjungi terusen Zues. “Suka-cita bangsa Arab, bagian dari ras asiatik yang besar,” kenang Sun Yat Sen ketika mengenang peristiwa itu.
Segera setelah kemenangan itu, sebagian bangsa atau orang Asia mulai membangun kepercayaan bahwa Jepang-lah yang pantas memimpin Asia dalam perjuangan menumbangkan eropa. Mungkin, dalam beberapa derajat, inilah yang menjadi alasan bagi Jepang untuk melaksanakan proyeks ekspansionismenya dan sekaligus menindas bangsa-bangsa Asia yang lebih kecil, dengan meminjam alasan: Asia Timur Raya.
Usaha membangun Pan-Asia mulai terlembaga dalam berbagai asosiasi-asosiasi Pan-Asia yang berdiri di seluruh Asia, dan juga melalui konferensi-konferensi Pan Asia yang berlangsung di Tiongkok, Jepang, dan Afghanistan pada tahun 1920-1930-an. Fenomena ini juga dibumbuhi dengan lahirnya gerakan-gerakan anti-eropa di berbagai tempat. Pada tahun 1907, kaum sosialis dan revolusioner dari Tiongkok, Jepang, Vietnam, Korea, Philipina, Birman, dan India bergabung dalam pembentukan Asiatic humanitarian brotherhood. Lalu, pada tahun 1909, pan-asianis Jepang dan muslimin membentuk apa yang disebut Ajia Gikai (Asian Congress). Pada tahun 1921, sebuah gerakan massa muncul di Tokyo, Jepang, untuk mendukung perjuangan Turki menyatu dengan Asia Tengah dan keluar dari kekuasaan Rusia.
Dua Macam Pan-Asiatisme
Sebagaimana diceritakan di atas, kemenangan Jepang terhadap Rusia telah mendorong kepercayaan luar biasa bagi Jepang dan bangsa-bangsa Asia lainnya. Pada tahun 1910, atas nama Pan-asiatisme, Jepang telah menjalankan agresi terhadap Korea.
Di kalangan sebagian intelektual Chauvinis Jepang, mereka telah mencari-cari sebuah alasan kultural dan historis, yang diperlukan sebagai legitimasi bahwa Jepang-lah yang pantas memimpin pembebasan bangsa Asia dari Eropa.
Dengan demikian, secara sepihak, fasisme Jepang telah menggunakan Pan-Asiatisme untuk melegitimasi nafsu penaklukan dan penindasan terhadap bangsa-bangsa yang lebih lemah dan lebih kecil.
Pada tahun 1919, untuk menyelamatkan Pan-Asiatisme, Li Dazhao, salah seorang pendiri Partai Komunis Tiongkok, telah menulis sebuah seruan kepada bangsa-bangsa Asia yang lebih lemah untuk membangun “kebesaran Asia yang baru” melawan “kebesaran Asia”-nya Jepang yang fasistik. Sementara itu, Sun Yat Sen, ketika sedang memberi ceramah tentang Pan-Asiatisme di Kobe, Jepang, berusaha membujuk Jepang agar kembali ke jalan persatuan Asia yang sebenarnya.
Di sini, sebagaimana kita lihat di atas, ada dua macam Pan-Asiatisme yang terbangun: pertama, Pan-Asiatisme yang diselewengkan oleh Jepang untuk mencapai tujuan-tujuan fasistiknya. Kedua, Pan-Asiatisme bangsa-bangsa terjajah dan tertindas untuk mengalahkan kolonialisme dan imperialisme.
Pan-Asiatisme yang Anti-Imperialis
Boleh dikatakan bahwa Bung Karno dan Sun Yat Sen adalah dua orang tokoh pergerakan nasionalis di Asia yang konsisten untuk membawa Pan-Asiatisme di jalan pembebasan nasional bangsa-bangsa terjajah.
Menurut Sun Yat Sen, tujuan dari Pan-Asia adalah mengakhiri penderitaan dan ketertindasan bangsa-bangsa Asia dengan melakukan perlawanan terhadap dominasi bangsa Eropa. Ini sama sekali tidaklah berbau rasialisme, sebab saat itu Asia sudah cukup lama ditindas dan dihisap oleh kolonialis dari Eropa.
Kalaupun Asia akan mengembangkan kekuatannya, menurut Sun Yat Sen, itu bukan dimaksudkan untuk menyerang atau memerangi bangsa lain, melainkan untuk mempertahankan diri apabila sewaktu-waktu diserang oleh aggressor dari luar.
Sedangkan menurut Bung karno, hal-hal yang mengikat Pan-Asiatisme adalah kesamaan nasib, yaitu sebagai bangsa terjajah, dan kesamaan tujuan: mencapai kemerdekaan dan kemajuan sebagai sebuah bangsa. “…bahwasanya, bahagia yang melimpahi negeri-negeri Asia yang lain adalah kita rasakan melimpahi diri kita sendiri; malangnya negeri-negeri itu adalah malangnya negeri kita pula…”
Bung Karno berusaha menggunakan Pan-Asia ini sebagai alat untuk menyatukan kekuatan-kekuatan pergerakan nasional di Asia dalam memukul imperialisme. Oleh karena itu, Bung Karno lalu bercerita bagaimana saling-hubungan antara berbagai pergerakan-pergerakan di Asia itu. Ia mengutip pernyataan seorang nasionalis Indonesia lainnya: “letusan meriam di Thusima telah membangunkan penduduk Indonesia, memberi tahukan bahwa matahari telah tinggi, serta memaksa penduduk Indonesia berkejar-kejaran dengan bangsa asing menuju padang kemajuan dan kemerdekaan.”
Soekarno dalam tulisannya di “Suluh Indonesia Muda” tahun 1928 itu juga menggaris bawahi arti penting Pan-Asia sebagai sebuah front anti-imperialis di antara bangsa-bangsa Asia dalam memukul imperialisme. “Kekalahan atau kerugian yang diderita oleh imperialis lain adalah berarti sebuah keuntungan bagi kita, suatu penguatan-pendirian kita di dalam kita punya perjuangan yang sukar ini,” kata Bung Karno.
Pendapat Bung Karno ini mengacu pada sebuah pemahaman yang kuat, bahwa imperialisme bukan hanya relasi antara satu bangsa penindas terhadap satu bangsa tertindas lainnya, melainkan imperialisme sebagai sebuah sistem untuk mengusai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri—suatu sistim untuk merajai atau mengendalikan ekonomi bangsa lain.
Dengan keberhasilan suatu negeri jajahan memukul penindasnya, menurut Bung Karno, akan memberikan keuntungan bagi negara-negara jajahan lain yang sedang menjalankan perjuangan yang sama.
***
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Bung Karno jarang sekali berbicara mengenai Pan-Asia. Saat itu, gerakan Pan-Asia sendiri sudah mulai meredup setelah diselewengkan oleh fasisme Jepang.
Meski begitu, bukan berarti bahwa Bung Karno meninggalkan pentingnya solidaritas bangsa terjajah melawan imperialisme, dan itu dibuktikannya dengan memprakarsai Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955, di Bandung, Jawa Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar